Halaman

Minggu, 10 Maret 2013

Memvonis orang… atau menyelamatkan orang agar terhindar dari vonis?!


Hendaknya dua pertanyaan diatas itulah yang kita tanyakan kepada diri kita, ketika kita dapati saudara kita jatuh kedalam sesuatu yang mungkar.

Apakah sikapmu terhadapnya?
- Apakah yang engkau inginkan dirinya agar tervonis?
- Ataukah yang engkau inginkan darinya adalah agar dirinya SELAMAT DARI VONIS?




Jika engkau inginkan yang pertama…
Maka sungguh engkau telah menyelisihi hadits:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنْ النَّارِ وَيَدْخُلَ الْجَنَّةَ فَلْتُدْرِكْهُ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَيَأْتِي إِلَى النَّاسِ مَا يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ
“Barangsiapa ingin dijauhkan dari api neraka, dan ingin dimasukkan ke dalam surga maka hendaklah ia menemui kematiannya dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, serta memberikan kepada manusia sesuatu yang ingin diberikannya kepadanya.”
(Shåhiih, HR. Ahmad; dishahiihkan oleh Syaikh Ahmad Syaakir)

Apakah engkau ingin ketika engkau jatuh kedalam kemungkaran, engkau langsung divonis faasiq oleh saudaramu?!
Maka demikianlah saudaramu! Sebagaimana engkau tidak menyukai dirimu divonis faasiq, hanya karena ketergelinciranmu atau bahkan karena ketidaktahuanmu, atau bahkan karena keterpaksaanmu!

Ingatkah dirimu proses untuk menerima kebenaran tidak hanya dalam satu proses saja?

1. Sampai kebenaran tersebut pada mereka
Betapa banyak masyarakat kita terhalangi dari dakwah yang haq? Yang mana akhirnya mereka tidak tersampaikan penjelasan tentang aqidah yang shahiih?!

2. Kebenaran yang sampai pada mereka, mereka pahami dengan pemahaman yang benar…
Tidak cukup “kebenaran” itu terdengar di telinga mereka… Tapi masih ada satu persoalan lagi… APAKAH mereka DAPAT MEMAHAMI DENGAN BENAR kebenaran tersebut?!
Justru yang kita dapati BANYAK, dari mereka yang telah SALAH PAHAM… Dan banyak dari mereka yang TIDAK PAHAM?!

Apakah engkau tidak memikirkan kedua hal tersebut?!
Maka jika engkau dapati mereka menyelisihi kebenaran…. Maka jangan dulu langsung engkau katakan:
“Telah sampai kebenaran pada mereka, mereka paham, dan mereka SENGAJA menyelisihinya”
Allaahul musta’aan…
Tak heran… Kita dapati orang yang berpemahaman seperti ini… maka ia langsung bersikap keras… Karena “menurut anggapannya” kaumnya SELURUHNYA adalah ahlul ahwa…
Ia lupakan proses diatas… Yang mana JIKA ia BERPIKIR… Tentu orang yang ada dibenaknya tersebut MUNGKIN SEDIKIT…

Takutlah engkau… Orang yang disisi Allaah mendapatkan udzur karena ketidaktahuannya atau kesalahpahaman atau ketergelincirannya… Sementara engkau berkata: “ia telah tahu, ia telah paham; dan ia sengaja menyelisihinya”

Tahukah engkau JIKA DALAM PERKARA AQIDAH… Kita mencari-cari udzur terhadap mereka… Maka bukankah LEBIH DITEKANKAN LAGI, pada permasalahan fiqhiyyah, apalagi ijtihadiyyah kontemporer (yang sama sekali tidak ada dalil langsung dari Allaah dan RasulNya tentangnya!) ?!

Sesungguhnya jika engkau TULUS mencintai saudaramu.. Maka engkau mencari-carikan udzur untuknya..

Maka hendaknya dirimu… mencari-cari alasan bagi saudaramu… yang mungkin dirinya:
- Bisa saja ia tidak tahu permasalahan?
- Bisa saja ia tahu, tapi tidak paham?
- Bisa saja ia tahu, tapi salah paham?
- Bisa saja ia tahu, tapi lupa?
- Bisa saja ia tahu, tapi ia terpaksa melakukannya?
- Bisa saja tahu, tapi ia memiliki pandangan lain berdasarkan kandungan dalil yang kuat dan penjelasan ulama salafush shalih yang ia ikuti?
(dan mungkin maasih banyak alasan lain, sehingga dirinya termasuk orang yang mendapatkan udzur, dan terhalang dari vonis!)

Bukankah engkau inginkan dirimu selamat dari vonis, sehingga dirimu seringkali mencari-cari pembenaran diri agar dirimu tidak termasuk orang-orang yang tervonis sesat?!
Ketahuilah ini KELIRU…

Adapun terhadap dirimu sendiri… hendaknya engkau mencari-cari kesalahanmu untuk engkau perbaiki… hendaknya engkau berprasangka buruk pada nafsumu, agar engkau dapat meruju’ kepada kebenaran… Bukannya malah terus-menerus mencari udzur dan pembenaran terhadap diri sehingga engkau bisa “meloloskan diri” dari perkara haram dan syubhat… Terus-terus saja engkau melakukan pembenaran… Bagaimanakah kelak di hari hisab?! Adakah hal yang sama akan kau lakukan? Ketika lisanmu dikunci? Ketika yang berbicara adalah kulit-kulitmu? Ketika isi hatimu ditampakkan!?
Adapun terhadap orang lain… Maka hendaknya engkau mencari-carikan udzur terhadapnya… Engkau cari segala macam alasan untuknya… Karena BERAT bagimu untuk memvonisnya, sebagaimana dirimu MERASA BERAT HATI jika divonis saudaramu!

Ketahuilah seorang muslim itu senantiasa mencari alasan untuk saudaranya, sehingga ia berharap semoga saudaranya bukan termasuk orang-orang yang merugi…
Adapun orang-orang faajir… Maka mereka senantiasa mencari-cari keburukan… Mencari-cari celah, mencari-cari cara… Agar ia dapat memvonis orang lain… Yang ia inginkan dari keburukan orang lain adalah: “jatuhnya vonis, sikap keras, dan (mungkin saja) jatuhnya adzab pada mereka!”
Apa itu yang engkau inginkan wahai saudaraku terhadap saudaramu dan kaummu?

Bukankah yang harusnya engkau lalukan adalah: “menyelamatkan mereka agar tidak termasuk orang yang terjauh vonis tersebut”?

Bukankah yang seharusnya engkau lakukan adalah “kebenaran itu DIKETAHUI dan DIPAHAMI mereka, sehingga mereka tidak jatuh vonis”?!
Lantas bagaimana kau harapkan kebenaran itu sampai kepada mereka, jika cara penyampaianmu itu kasar, tidak sistematis, tidak bertahap, dan cuma sekali, dua kali engkau sampaikan2!?
Lantas kemudian engkau katakan: “sudah aku sampaikan kepada mereka, dan mereka menolak kebenaran”

Tunggu dulu akhi: “yang mereka tolak itu DIRIMU atau kebenaran?!”
Bisa jadi yang menghalangi mereka menerima kebenaran dikarenakan caramu yg salah, sehingga karena caramu salah, sehingga (tanpa mereka sadari) yang terucap dalam lisan dan tulisan mereka adalah penolakan terhadap kebenaran yang engkau bawa…

Apa tujuanmu akhi?!

Untuk memvonis mereka? Yang dengan vonis tersebut, engkau harapkan kebinasaan bagi mereka?
Ataukah untuk mengenalkan dan memahamkan mereka ttg kebenaran? Yang dengannya engkau harapkan mereka kembali kepada kebenaran?!
Kepada siapakah engkau mengajak mereka?
Kepada dirimu sendiri? Yang mana jika mereka belum dapat menerima penjelasanmu, maka engkau vonis mereka?
Ataukah kepada Allaah?! Yang mana jika mereka belum sampai kebenaran, atau belum paham kebenaran; maka engkau berharap disisi Allaah mereka mendapatkan udzur? Atau engkau harapkan agar Allaah memaafkan dan mengampuni mereka karena ketidaktahuan/kesalahpahaman/ketergelinciran mereka?

Cobalah engkau bandingkan dua hal diatas… Manakah manhaj para nabi dalam berdakwah… Dan manakah manhaj baathil?!
Semoga Allaah memberikan kita ilmu yang bermanfaat; yang mana melembutkan hati dan amal perbuatan kita… Aamiin

Catatan Kaki
Vonis yang dimaksud disini adalah vonis INDIVIDU.
Yaitu: “fulaan kaafir”, “fulaan faasiq”, dll.
Adapun VONIS PERBUATAN, maka ini VONIS UMUM. TIDAK SETIAP pelaku kekufuran/kefasiqan, langsung dihukumi dengan kaafir/faasiq!

Maka hendaknya kita mengetahui perbedaan kedua hal ini…
- Agar jangan sampai, ketika melihat seorang muslim yang terjatuh/tergelincir kepada perbuatan kekufuran/kefasikan langsung kita hukumi: “engkau kaafir/faasiq”
- Agar jangan sampai, ketika kita melihat seseorang yang menghukumi suatu perbuatan (berdasarkan dalil dan pemahaman salafush shalih) akan fasiq/kufur-nya suatu perbuatan, maka dipahami “memvonis kafir/fasiq terhadap setiap pelakunya yang jatuh kedalamnya”

Dua hal diatas keliru… Karena sudah ditegaskan diatas, bahwa tidak setiap seseorang yang jatuh kedalam perbuatan kekafiran atau kefasiqan mengkonsekuensikan kemurtadan/kefasiqan baginya…
Yang hendaknya kita berhati-hati agar tidak sembarangan memvonis fasiq/kafir pada orang lain…
Dan agar kita berhati-hati agar tidak sembarnagna menuduh orang lain “suka mengkafirkan/memfasiqkan” padahal yang mereka bicarakan adalah “PERBUATAN fasiq/kufur”… ↩

Lantas bagaimana lagi permasalahan tersebut adalah PERMASALAHAN SESAMA AHLUS SUNNAH!? yang mana kedua pendapat tersebut adalah pendapatnya ahlus sunnah?! adakah tepat mengatakan ahlul ahwa kepada pihak yang bersebrangan sedangkan telah jelas kekuatan dalil yang dipegang masing-masing pihak!? sedangkan telah jelas bagimu masing-masing pihak telah mengembalikan kepada pemahaman para ulama salafush shaalih?! ↩

sumber:
http://abuzuhriy.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar