Halaman

Sabtu, 27 April 2013

Pengaruh Doa dan Dzikir Dalam Kehidupan Seseorang


Kita telah banyak MENGETAHUI/MENGILMUI dzikir-dzikir dan doa-doa yang datang dari Allah (al Qur-aan) dan RasulNya (as Sunnah Shahiihah)…
Akan tetapi pertayaannya… “Apakah kita memperhatikan PENGARUH dari dzikir tersebut dalam diri-diri kita?”



Maka semoga kita dapat MERESAPI dzikir-dzikir yang kita ucapkan, kita dapat MERESAPI doa-doa yang kita panjatkan; sehingga dzikir dan doa tersebut DAPAT BERMANFA’AT bagi diri kita sendiri.
Kita pun membaca firman Allah:
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu berdzikir kepada Allah..
(az Zumar: 23)
Dan juga firman Nya:
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Ingatlah, hanya dengan BERDZIKIR kepada Allah, hati akan menjadi tenteram.
(QS. ar Ra’d: 28)
Pertanyaan timbul, apakah hati kita TENTRAM ketika berdzikir kepadaNya?
Ketahuilah Allah tidaklah berdusta, jika apa yang kita dapati dalam diri kita tidaklah seperti apa yang dikhabarkan oleh Allah, maka salahkanlah diri kita. Salahkanlah hati yang telah mengeras tersebut. Salahkanlah jiwa yang penuh dosa tersebut.
Ketahuilah, karena sebelumnya Allah menyebutkan -dalam ayat tersebut-:
قُلْ إِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ أَنَابَ ‪.‬ الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang BERTAUBAT kepada-Nya, (yaitu) orang-orang yang BERIMAN yang hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
(QS ar Ra’d: 27-28)
Berkata Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaliy:
“Dzikirullah adalah kelezatan yang terasa didalam hati orang-orang MUKMIN, yang hati mereka menjadi gemetar apabila mendengar nama Allah disebut-sebut (kemudian beliau membawakan ayat diatas).
Hati orang-orang yang mencintai Allah tidak menjadi tenteram kecuali dengan berdzikir kepadaNya. Demikian pula, ruh orang-orang yang sedang rindu, tidak akan menjadi tenang kecuali dengan melihat yang dirindukannya. Inilah hidup yang tenang yang tidak dapat dimiliki oleh orang-orang yang LALAI dalam meningatNya.
Maka dapat engkau ketahui bahwa orang yang berdzikir hidupnya indah dan cerah penuh cahaya kehidupan, disamping bathinnya indah dan cerah penuh dengan cahaya ILMU dan ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah). berbeda dengan orang-orang lalai, dia tidak ubahnya bagaikan sebuah rumah, yang luarnya kosong, dan dalamnya pun tidak berharga…”
(lihat syarah riyadush shalihin)
Maka apakah kita mendapatkan itu semua ketika kita berdzikir?! Kalau tidak, maka salahkanlah hati yang LALAI, hati YANG BODOH (yang jauh dari ilmu, yang tidak tahu menahu makna doa/dzikir yang kita panjatkan), hati yang TIDAK MENGENAL ALLAH, hati yang jauh dari kekhusyu’an…
Kita ambil contoh, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
‎مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله مُخلِصًا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan keikhlasan hati, pasti ia masuk surga.”
(HR. Ahmad, hadits sahih)
Dalam riwayat al-Bukhariy, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ
“Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya dengan kejujuran dari dalam hatinya, kecuali Allah akan mengharamkan neraka baginya.”
(HR. Bukhari no. 128)
dari Abu Hurairah Radliyallahu’anhu, bahwa ia menuturkan;
Saya bertanya; ‘wahai Rasulullah, siapa manusia yang paling beruntung dengan syafaatmu padahari kiamat? ‘
Nabi menjawab:
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلَنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ
“Hai Abu Hurairah, saya sudah beranggapan bahwa tak seorangpun lebih dahulu menanyakan masalah ini kepadaku selain dirimu, dikarenakan kulihat semangatmu mencari hadits…
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قِبَلِ نَفْسِهِ
Manusia yang paling beruntung dengan syafaatku pada hari kiamat adalah yang mengucapkan laa-ilaaha-illa-llaah, dengan ikhlas dari lubuk hatinya.”
(HR. Bukhariy)
Melihat kedua hadits diatas, mungkin sebagian dari kita akan berkata, “alangkah mudahnya seseorang masuk surga, alangkah mudahnya seseorang menjadi orang beruntung pada hari kiamat”
Tapi, lihatlah bagaimana pemahaman para ulama tentang hadits YANG KITA PANDANG REMEH tersebut:
Dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Jamil Zainu Rahimahullahu ta’ala:
“Orang yang ikhlash (–yang dimaksudkan dalam hadits tersebut–) ialah orang yang (–MENGILMUI dan–) MEMAHAMI (– dengan benar, serta MEYAKINI kebenaran–) Laa ilaaha illallah, MENGAMALKANnya, dan MENYERU KEPADANYA, sebelum menyeru kepada yang lainnya*. Sebab kalimat ini mengandung tauhid, karena hal inilah Allah menciptakan alam semesta ini.”
(Manhaj Firqatin Najiyah; dikutip dari ulamasunnah: http://ulamasunnah.wordpress.com/2009/03/05/7-point-penting-seputar-makna-lailaha-illallah/)
Maka benarlah perkataaan emas ibnul qayyim disaat ia berkata:
“Dzikir yang paling utama dan PALING BERMANFA’AT bagi seorang hamba adalah dzkir yang serasi dan selaras antara HATI dan LISANnya. IA TAHU BENAR bahwa dzikir-dzikir tersebut termasuk yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, lalu ia MENGHADIRKAN MAKNA-MAKNA* dari maksud dzikir tersebut dalam hatinya”
(Fiqhul Ad’iyyati wal adzkaar, 282; dinukil dari: Doa dan Dzikir pustaka ibn umar)
*Lantas apa yang hendak kita hadirkan jika makna dzikir tersebut TIDAK KITA KETAHUI?!!
Kebanyakan dari kita, mengamalkan suatu doa atau dzikir sekedar amalan lisan saja, yang TIDAK KITA PAHAMI maknanya… sehingga sulit bagi kita untuk mendatangkan TADABBUR, dalam doa dan dzikir kita.
Kita ambil contoh dengan kalimat ini, bukankah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ
seafdhal-afdhalnya dzikir adalah LAA ILAAHA ILLALLAH, seafdhal-afdhalnya doa adalah ALHAMDULILLAH.
(HR. Ibn Maajah, at-Tirmidziy, dll; dishahiihkan oleh Syaikh al-Albaaniy)
Kalimat mana lagi yang lebih tinggi dari kalimat yang dengannya langit dan bumi tegak? Kalimat yang meninggikan Dzat Yang Maha Tinggi?
Allah berfirman:
جَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَىٰ ۗ وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا
dan Allah menjadikan kalimat orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi.
(at Tawbah: 40)
Ditafsirkan oleh Turjumul Qur-aan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhumaa:
“Yang dimaksud kalimat orang-orang kafir adlaah KESYIRIKAN dan yang dimaksud dengan kalimat Allah adlaah LAA ILAAHA ILLALLAH”
(tafsir ibn katsir)
Demikian tingginya kalimat Laa ilaaha Illallah ini.. yang dimana ketinggian kalimat ini TIDAK KITA RASAKAN ketika kita mengucapkannya, tidak kita resapi ketika kita mengucapkannya, sehingga tidak membekas dihati-hati kita, dan tidak nampak dalam amalan-amalan kita akan konsekuensi dari kalimat tersebut.
Dan contoh lain, adalah ketika kita membaca “Laa hawla wa laa quwwata illa billah” tahukah kita makna dari dzikir ini?!
‫Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu menafsirkan makna al-Hawqolah (Laa hawla walaa quwwata illaa billaah) dengan ucapannya:‬
‎‫لاَ حَوْلَ بِنَا عَلَى الْعَمَلِ بِالطَّـاعَةِ إلاَّ بِاللهِ، وَلاَ قُوَّةَ لَنَا عَلَى تَرْكِ الْمَعْصِيَةِ إلاَّ بِاللهِ‬“
Tidak ada kemampuan bagi kami dalam melakukan amalan ketaatan kecuali dengan pertolongan Allah, dan tidak ada kekuatan bagi kami untuk meninggalkan maksiat kecuali dengan pertolongan dari Allah (pula).”
Demikianlah makna dzikir tersebut…
Maka orang yang mengucapkan dzikir tersebut, hendaklah ia menghadirkan dalam hatinya pengakuan akan KELEMAHAN dan KETIDAKMAMPUNnya, serta pengakuan akan Kekuatan yang diberikan Allah kepadanya; yang dengan PertolonganNya tersebut ia dapat melakukan amal ketaatan dan menghindari maksiat. Maka apakah mungkin seseorang yang JUJUR dan TULUS dalam berdzikir LAA HAWLA WA LAA QUWWATA ILLA BILLAH ini akan timbul rasa ujub dalam dirinya?!
Maka bagaimana dengan dzikir-dzikir yang lain? sudahkah kita MENGETAHUI maknanya DENGAN PEMAHAMAN YANG BENAR?!! sehingga kita dapat merenungkan maknanya, dan sehingga kita dapat mengamalkan kandungannya?!
Penyebab-penyebab tidak berpengaruhnya doa dan dzikir dalam kehidupan seseorang
Diantara PENYEBAB kita tidak dapat merasakan ketinggian dzikir yang paling tinggi ini adalah karena:
1. KEBODOHAN kita, yang mana kita TIDAK TAHU atau/dan TIDAK PAHAM akan makna yang terkandung didalam dzikir ini.
Bagaimanakah kita akan mengharapkan manfa’at dari dzikir yang kita ucapkan sedangkan kita sendiri TIDAK MENGETAHUI apa yang kita ucapkan?!
Bukankah Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan
(an Nisaa’:43)*
*Ayat ini merupakan ayat kedua yang diturunkan Allah berkaitan dengan khamr, yang kemudian Allah menurunkan ayat ketiga sekaligus mengharamkan secara mutlak khamr dalam semua keadaan*
Ditafsirkan oleh Ibnu Katsir:
“Ini ungkapan paling baik untuk batasan mabuk, yaitu tidak mengetahui apa yang diucapkannya. karena orang yang sedang mabuk diwaktu shalat, akan mencampuradukkan bacaan, TIDAK MERENUNGKAN BACAANNYA, dan TIDAK KHUSYU’ dalam membacanya”
(Tafsir Ibn Katsir)
Rasulullah juga bersabda:
إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ فَإِنَّهُ إِذَا صَلَّى وَهُوَ يَنْعَسُ لَعَلَّهُ يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ
“Jika salah seorang dari kalian mengantuk maka hendaklah ia tidur (terlebih dahulu) sehingga kantuknya hilang, karena jika ia sholat dalam keadaan mengantuk, mungkin dia ingin memohon ampun namun dia malah mencela dirinya sendiri.”
(HR. Ahmad, Bukhariy, Muslim (ini lafazhnya) dll)
Maka jangan sampai kita -sebagai orang yang SADAR dan TIDAK NGANTUK- malah LEBIH BURUK daripada orang yang mabuk dan ngantuk berat. Yang SAMA SEKALI tidak memahami apa yang kita baca, tidak merenungi apa yang kita baca dan tidak khusyu dalam membacanya…
Itulah sebabnya kita firman Allah berikut TIDAK TERWUJUDkan dalam kehidupan kita:
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar
(al Ankabut: 45)
Tahukah akhir kesudahan orang-orang seperti ini? Rusaknya amal-amalnya! sebagaimana hal ini dialami oleh KAUM KHAWARIJ..
Lihatlah bagaimana ibadah mereka, seperti disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam:
دَعْهُ فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلَاتَهُ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ
“Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka.”
(HR. Bukhariy)
dalam riwayat Ibn Maajah, dari Abu Sa’id al-Khudriy, ketika beliau ditanya tentang khawarij:
“Aku mendengar beliau menyebutkan sekelompok kaum yang AHLI IBADAH.
يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلَاتَهُ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصَوْمَهُ مَعَ صَوْمِهِمْ
“Kalian akan meremehkan shalat dan puasa kalian dibanding dengan shalat mereka.”
(HR. Ibnu Maajah)
Juga sebagaimana disebutkan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhumaa:
“Aku belum pernah menemui suatu kaum yang bersungguh-sungguh, dahi mereka luka karena seringnya sujud, tangan mereka seperti lutut unta, dan mereka mempunyai gamis yang murah, tersingsing, dan berminyak. Wajah mereka menunjukan kurang tidur karena banyak berjaga di malam hari”.
[Lihat Tablis Iblis, halaman 91].
Tapi apa pendapat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang mereka? Beliau menjelaskan ciri-ciri mereka:
‎سَيَخْرُجُ فيِ آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الأَسْنَانِ سُفَهَاءُ اْلأَحْلاَمِ يَقُوْلُوْنَ مِنْ قَوْلِ خَيْرِ البَرِيَّةِ يَقْرَءُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ
Akan keluar di akhir zaman suatu kaum yang muda-muda umurnya, pendek akalnya. Mereka mengatakan ucapan sebaik-baik manusia. Mereka membaca Al Qur’an, tapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka melesat (keluar) dari (batas-batas) agama seperti melesatnya anak panah menembus binatang buruannya.
[HR. Al Bukhari 3611, 5057, 6930; Muslim 1066]
Al Hafidh Ibnu Hajar berkata :
“Imam An Nawawi berkata : “Yang dimaksud adalah mereka tidak mendapat bagian kecuali hanya melewati lidah mereka saja dan tidak sampai kepada kerongkongan mereka, terlebih lagi hati-hati mereka. Padahal yang dimaukan adalah mentadabburinya (memperhatikan, memahaminya dengan pemahaman yang benar (pemahaman shahabat), dan merenungkannya dengan teliti agar sampai ke hati”.”
(Fathul Bari : 12/293)
Allahul musta’aan..
2. KELALAIAN hati kita (–sehingga kita tidak KHUSYU’ ketika berdzikir kepadaNya–)
Dikarenakan karena hati tersebut TELAH MENGERAS dengan kubangan kemaksiatan dan kemaksiatan, sehingga seringnya hati ini LALAI ketika dihadapkan dengan firman-firmanNya, hadits-hadits RasulNya.. Sulit bagi hati ini untuk memahami kandungannya, sulit bagi hati ini untuk meresapi kandunganya, sulit bagi hati ini untuk luluh pada keagungan dan ketinggianNya, padahal Allah berfirman:
لَوْ أَنزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَّرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللَّ
Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah
(al Hasyr: 21)
SEKERAS itukah hati kita? gunung yang seluruhnya BATU-BATUAN yang KERAS pecah karena ketundukannya dan ketakutananya kepada Allah, lantas bagaimana dengan hati kita? apakah hati kita yang telah mengeras itu lebih keras dari bebatuan digunung-gunung itu?! Nas alullah as-salamata wal ‘aafiyah.. semoga Allah memperbaiki hati-hati kita, melembutkannya, dan menjadikannya hati yang hidup, hati yang sehat.. aamiin..
Semoga kita tidak termasuk dalam firman Allah:
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُم مِّن بَعْدِ ذَٰلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً ۚ وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْأَنْهَارُ ۚ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاءُ ۚ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللَّ
Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah
(al Baqarah 70)
Dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya:
“Oleh karena itu Allah melarang kaum mukminin menyerupai keadaan (–hati–) kaum bani israil. Dia berfirman:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk TUNDUK HATI MEREKA (untuk) mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka),
وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ
dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.
(Al-Hadid: 16)
[tafsir ibn katsir]
Lihatlah apa yang dikatakan shahabat yang mulia Jundub ibn Abdillah:
dari Jundub bin Abdillah ia berkata; “Ketika kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pada saat itu kami merupakan sosok pemuda-pemuda yang kuat. Kami belajar iman sebelum mempelajari Al Qur`an, kemudian kami mempelajari Al Qur`an, maka dengan begitu bertambahlah keimanan kami.”
(Atsar Ibnu Maajah)
Merekalah yang disebut oleh Allah dalam firmanNya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang BERIMAN ialah mereka yang bila disebut nama Allah; gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Rabb mereka bertawakkal.
(Al-Anfaal: 2)
Dijelaskan tafsirnya oleh Ibnu Abbas:
“Tidak masuk kedalam hati orang-orang munafik sedikit pun dari mengingat Allah saat mereka melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Mereka juga tidak beriman sedikitpun terhadap ayat-ayatNya, tidak bertawakkal (kepadaNya), tidak shalat ketika sendirian dan tidak menunaikan zakat pada harta mereka.”
(Tafsir Ibnu Katsir)
PELAJARAN;
Maka sudah selayaknya kita berusaha untuk memahami apa yang kita baca/dengar/lakukan, dan berusaha menghadirkan hati ketika mengamalkan amalan shalih tersebut…
sebagaimana Allah memerintahkan kita untuk mentadabburi al Qur-aan ketika kita membacanya:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al Quran ataukah hati mereka terkunci?
(Muhammad: 24)
Sehingga ketika kita beramal:
- kita paling tidak MENGETAHUI dan MEMAHAMI apa yang sedang kita lakukan/baca dalam ibadah kita.
- kemudian, kita MENGHADIRKAN hati kita untuk MERENUNGI kandungan dari apa yang kita lakukan atau baca dalam ibadah kita tersebut.
yang semoga dengan kedua cara ini akan dapat membantu kita untuk KHUSYU’ dalam mengamalkan amalan shalih.. karena itulah CIRI UTAMA orang MUKMIN ketika ia beramal shalih…
Allah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.
(al-Mukminun: 1-2)
Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaliy berkata: “Allah menonjolkan sifat KHUSYU’ sebagai ciri utama mereka”
Ayat ini menjelaskan bahwa di antara sifat-sifat yang dimiliki oleh orang-orang mu’min, yang akan menyebabkan mereka beruntung, adalah kekhusyu’an dalam shalat mereka.
Ayat ini juga memberi isyarat, bahwa orang-orang mu’min yang khusyu’ dalam shalatnya, benar-benar menjadi orang-orang yang beruntung.
Mafhumnya, orang-orang mu’min yang tidak khusyu’ dalam shalatnya, adalah orang-orang yang merugi alias celaka.
Apalagi orang-orang yang tidak shalat, dan orang-orang kafir tentunya lebih celaka lagi.
http://almatuq.wordpress.com/2009/04/09/bahagia-dalam-khusyu/
Bahkan Allah mencela orang-orang yang tidak khusyu’ dalam shalatnya.
Dijelaskan oleh Fadhilatul ‘Allamah DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah
Allah telah mencela orang yang tidak khusyu’ (dalam shalat) ketika mendengar Firman-Nya. Allah berfirman:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk TUNDUK HATI MEREKA (untuk) mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka),
وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ
dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.
(Al-Hadid: 16)
Bahkan Allah mengancam pemilik hati yang keras dengan firman-Nya:
فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللهِ أُولَئِكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ
Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah mengeras hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.
[Az-Zumar: 22]
Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam dulu sering berlindung kepada Allah dari hati yang tidak khusyu’, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah:
Bahwa Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam dulu sering berdo’a:
« اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا »
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan.”
(HR. Muslim)
[sumber: http://ulamasunnah.wordpress.com/2009/05/11/khusyu-dalam-shalat/]
3. Mengusahakan doa/dzikir tersebut untuk ada dalam diri kita
Allah berfirman:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
Bacalah [--al Qur-aan--] dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan
(al Alaq: 1)
Dan ketahuilah tidak cukup sampai disitu, namun ada konsekuensi setelahnya, yakni MENGAMALKAN apa yang telah kita BACA (dan PAHAMI dengan benar) tersebut.
‘Aa-isyah radhiyallahu ‘anhu berkata tentang Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam:
‎كَانَ خُلُقُهُ القُرْآن
“Akhlak beliau adalah Al Quran.”
Beliau tidak hanya sekedar MEMBACA al Qur-aan saja untuk dirinya dan kepada manusia, tapi apa yang beliau baca, juga nampak dalam AMALAN-AMALAN beliau.
Sebagaimana Imam Ibnu Katsir ketika membawakan ayat:
‎إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ
Sesungguhnya orang-orang yang BERIMAN ialah mereka yang bila disebut nama Allah; gemetarlah hati mereka
Beliau kemudian berkata: “…lalu mereka pun MENGAMALKAN kewajiban-kewajiban mereka…”
Demikian pun dalam hal meninggalkan kemungkaran, yang apabila ia bermaksud mengerjakan maksiat, ketika dikatakan padanya “bertakwalah engkau kepada Allah” maka hatinya menjadi gemetar; sebagaimana ditafsirkan oleh As-Suddi yang diriwayatkan oleh Sufyan ats-Tsauriy.
(Tafisr Ibn Katsir)
Demikian pula dengan DOA dan DZIKIR; tidaklah kita hanya berdoa dengannya atau berdzikir dengannya namun doa dan dzikir tersebut tidak kita usahakan untuk ada dalam diri kita.
Kita ambil contoh, jika seseorang meminta rezeki kepada Allah dengan doanya, tentunya ia tidak hanya bergantung dengan doa tersebut, dengan berdiam diri dirumah.. tapi ia pun PERGI KELUAR, MENCARI NAFKAH untuk menghidupi kehidupannya dan kehidupan orang dibawah tanggungannya.
Demikian halnya dalam masalah lain, Jika engkau meminta petunjuk, maka usahakanlah petunjuk pada dirimu, tempuhlah sebab-sebab yang menghantarkanmu kepada petunjuk. Jika engkau meminta surga, maka tempulah jalan-jalan yang dapat menghantarkanmu ke surga..
Sebagiamana jika engkau meminta ampun dan bertaubat, maka wujudkanlah dengan mengamalkan syarat-syarat taubat, sehingga engkau bisa termasuk orang-orang yang diterima taubatnya. Al Fudhail bin Iyaadh menyatakan: “Istighfar tanpa meninggalkan kemaksiatan adalah taubat para pendusta.”
Jika engkau berdzikir dengan lisanmu dengan mensucikan Allah, maka hatimu pun mensucikanNya, amalan-amalan yang engkau tampakkan dihadapanNya pun adalah amalan-amalan yang suci dari kotoran syirik, bid’ah, dan maksiat. Sangat dipertanyakan orang-orang yang berdzikir “subhanallah” akan tetapi dalam kesendiriannya ia tidak mensucikan dan mengagungkan Allah, malah ia berbuat maksiat tanpa mempedulikan KEAGUNGAN RabbNya Yang Maha Melihat perbuatannya lagi Maha Mengetahui apa yang diperbuatnya.
Dan seterusnya…
Penutup
dari ‘Abdullah bin Busr ia berkata,
“Dua orang Arab dusun datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Lalu salah seorang dari mereka bertanya,
“Siapakah laki-laki yang paling baik wahai Muhammad?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ
“Orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.”
Kemudian laki-laki yang satunya lagi berkata,
“Kami telah banyak mendapatkan banyak pengajaran tentang syariat Islam, maka ajarkanlah kepada kami satu pintu yang menghimpun seluruh kebaikan yang bisa kami jadikan pedoman.”
Beliau bersabda:
لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Hendaknya lisanmu selalu basah dengan dzikir kepada Allah.”
(HR. Ahmad (dan ini lafazhnya); at Tirmidziy, Ibn Maajah, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan beliau menshahiihkannya, disetujui oleh Imam adz-Dzahabiy dan al-Albaaniy [shahiihul jaami' 7700])
Demikianlah orang-orang yang menghimpun seluruh kebaikan dalam dirinya; yaitu orang-orang yang senantiasa basah lisannya berdzikir kepada Allah. Yang dzikirnya tersebut tidak hanya dari lisannya saja, tapi dipahami maknanya, diucapkan dengan ketundukan hati, serta nampak dalam amal kesehariannya.
Semoga dengan ketiga hal ini, kita dapat memperbaiki AMALAN HATI, LISAN dan ANGGOTA BADAN kita dalam beribadah KEPADA ALLAH… Khususnya lagi, semoga dengan ini, dzikir-dzikir atau doa-doa yang kita lakukan dapat berpengaruh dalam kehidupan kita.
Wallahu a’lam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar