Halaman

Jumat, 10 Mei 2013

Ketika Amalan Tercampuri Keinginan Dunia


Niat ikhlas bagi amal shalih ibarat ruh bagi jasad. Jika ruh lepas dari jasad maka ia akan mati. Begitu juga niat ikhlas, apabila hilang dari amal shalih, maka amal akan sia-sia. Dan yang dimaksud ikhlas adalah beramal untuk Allah semata.

Al-Fudhailbin ‘Iyadh – rahimahullah – berkata:
إِنَّ اْلعَمَلَ إِذَا كَانَ خَالِصًا وَلَمْ يَكُنْ صَوَابًا لَمْ يُقْبَلْ، وَإِذَا كَانَ صَوَابًا وَلَمْ يَكُنْ خَالِصًا أَنْ يَكُوْنَ عَلَى السُّنَةِ
Sesungguhnya amal itu apabila ikhlash tetapi tidak shawab maka tidak akan diterima. Dan jika shawab tetapi tidak ikhlash maka juga tidak akan diterima, hingga terdapat ikhlas dan shawab. Dan ikhlash itu adalah karena Allah dan shawab itu sesuai dengan sunnah.”



Dalam sebuah hadits Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima suatu amal kecuali dengan ikhlash dan dengannya mengharap wajah-Nya.” (riwayat Nasai dengan sanad bagus)

Niat yang benar dan ikhlas akan menjadikan amal yang kecil menjadi besar nilainya. Sebaliknya salah dalam niat bisa menjadikan amal besar menjadi tak berguna. Abdullah Ibnul Mubarak – rahimahullah – pernah menyatakan,
رُبَّ عملٍ صغيرٍ تعظِّمهُ النيَّةُ ، وربَّ عمل كبيرٍ تُصَغِّره النيَّةُ
Berapa banyak amal yang kecil menjadi besar nilainya karena niat. Dan berapa banyak amal  besar menjadi kecil nilainya dikarenakan niat.”

Niat yang benar dan ikhlas akan menjadikan amal yang kecil menjadi besar nilainya. Sebaliknya salah dalam niat bisa menjadikan amal besar menjadi tak berguna.

Dengan niat baik, seorang hamba akan mendapatkan pahala yang besar dari setiap amal shalih yang dijalaninya. Bahkan jika dia tidak mampu melaksanakannya karena suatu sebab syar’i, Allah tetap mengalirkan pahala untuknya dengan niatnya.

Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda:
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
Jika seorang hamba sakit atau sedang safar (bepergian), maka dicatat untuknya ‘amal perbuatan yang biasa ia kerjakan seperti di waktu ia sehat dan tidak sedang bepergian.” (Riwayat Bukhari no. 2774)

Adanya keinginan menjaga amal yang biasa dikerjakannya menjadikan pahala tersebut tetap mengalir walau ia tidak bisa mengerjakannya karena sakit atau bepergian.
Niat yang baik bisa menjadikan amal yang mubah diberkahi oleh Allah dan pelakunya mendapat pahala. Seperti orang yang menunaikan nafkah bagi keluarganya, dia akan mendapat pahala jika meniatkannya untuk Allah dan berharap pahala dari-Nya.

Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda:
إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ يَحْتَسِبُهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ
Jika seseorang memberi nafkah kepada keluarganya dengan berharap pahala dari Allah, maka nafkah tersebut terhitung shadaqah.” (Riwayat Bukhari)

Bahaya beramal shalih untuk mencari dunia

Di antara bahaya besar yang bisa menimpa seorang hamba adalah beramal shalih dengan harapan untuk mendapat dunia. Ini adalah kesyirikan yang bisa menghilangkan kesempurnaan tauhid dan menghapuskan amal. Ini lebih berbahaya daripada riya’. Kalau riya’, berharap pujian orang dalam amal namun munculnya jarang-jarang. Berbeda dengan orang yang niatnya memang untuk dunia, atau disebut materialistik, seluruh amal dan perbuatannya didominasi harapan untuk kebaikan dan kesejahteraan dunianya, tidak ada harapan untuk mendapatkan ridha Allah dan kebaikan di akhirat.

Mengenai hal ini, Allah menerangkan dalam firman-Nya:
Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (Hud: 15-16)

مَنْ تعلَّم عِلماً مِمَّا يُبتَغى به وجهُ الله ، لا يتعلَّمُه إلاَّ ليُصيبَ بهِ عَرَضاً من الدُّنيا ، لم يَجِدْ عَرْفَ الجنَّة يومالقيامَةِ
Barang siapa yang menuntut ilmu yang seharusnya dia cari untuk mengharapkan wajah Allah ta’ala, akan tetapi dia mencari ilmu supaya mendapatkan bagian dari dunia maka dia tidak akan mendapatkan wanginya surga pada hari kiamat kelak.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah)

Beramal Akhirat untuk Mendapatkan Dunia

Niat seseorang ketika beramal ada beberapa macam:

1. Jika niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal dan sama sekali tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat, maka orang semacam ini di akhirat tidak akan mendapatkan satu bagian nikmat pun. Perlu diketahui pula bahwa amalan semacam ini tidaklah muncul dari seorang mukmin. Orang mukmin walaupun lemah imannya, dia pasti selalu mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat.

2. Jika niat seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati, maka semacam ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.

3. Adapun jika seseorang telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia ambil untuk membantunya dalam beramal (semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan harta rampasan perang, para pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang mendapatkan upah dari negara setiap bulannya), maka tidak mengapa mengambil upah tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat untuk beramal shalih dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal dan beragama.

Adapun amalan yang seseorang lakukan untuk mendapatkan balasan dunia ada dua macam:

1. Amalan yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang melakukan amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia, maka semacam ini tidak diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan.
Misalnya: Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam hatinya bahwa pasti dengan melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat Tahajud akan mendapatkan anak laki-laki.

2. Amalan yang disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan berbakti kepada kedua orang tua. Semisal silaturrahim, Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Barangsiapa senang untuk dilapangkan rezeki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim (hubungan antar kerabat).” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Jika seseorang melakukan amalan semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan balasan dunia saja dan tidak mengharapkan balasan akhirat, maka orang yang melakukannya telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika dia melakukannya tetap mengharapkan balasan akhirat dan dunia sekaligus, juga dia melakukannya dengan ikhlash, maka ini tidak mengapa dan balasan dunia adalah sebagai tambahan nikmat untuknya karena syariat telah menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan ini.

Sebenarnya jika seseorang ikhlas dalam beramal tanpa mengharap-harap dunia, maka dunia akan datang dengan sendirinya. Semoga sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bisa menjadi renungan bagi kita semua,
مَنْ كانتِ الدُّنيا همَّه فرّق الله عليه أمره ، وجَعَلَ فقرَه بين عينيه ، ولم يأتِهِ من الدُّنيا إلا ما كُتِبَ له، ومَنْ كَانَتِ الآخرةُ نيَّته جمَعَ الله له أمرَه ، وجعل غِناه في قلبِه، وأتته الدُّنيا وهي راغمةٌ
Barang siapa yang menjadikan dunia sebagai puncak niatnya, niscaya Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kefakiran menghantui dirinya, sedangkan dunia tidak akan datang kepadanya melainkan sekadar apa yang telah ditetapkan. Dan barangsiapa yang menjadikan akhirat itu niatnya, niscaya Allah menghimpunkan segala urusannya serta menciptakan rasa cukup dalam hatinya sementara dunia datang tunduk kepadanya dalam keadaan hina.” (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah dari hadits Zaid bin Tsabit)

Akhirnya, marilah kita selalu menjaga amal kita agar hanya semata-mata mencari ridha atau mencari wajah  Allah saja. (***)

Rubrik Fikih Keluarga Majalah Sakinah Vol. 10 No. 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar